Rabu sore dua pekan lalu, Bandung dirundung mendung. Awan menggelayut
kelam di atas langit Kota Kembang, menghadirkan secuil kekhawatiran
bahwa hujan sebentar lagi datang.
Di sebuah ruangan di Panti
Sosial Bina Netra (PSBN) Wyata Guna — panti tunanetra yang didirikan
tokoh Belanda, DR. Ch. A. Westhoff pada 6 Agustus 1901 — Rudini, seorang
penyandang tunanetra penghuni panti, berdiri. Sesekali ia menggaruk
kepalanya tanda tak sabar seperti menunggu sesuatu.
Tak lama
berselang, datang seseorang. Sesosok perempuan kurus berjilbab berjalan
mendekat. Sebentar disapa, Rudini pun tersenyum, hatinya senang bukan
kepalang, seseorang yang ditunggunya sudah datang.
“Apa kabar? Jadi kita membaca puisi?” kata Rudini sambil cengengesan. Perempuan itu lantas menjawab, “Ya, buku puisi?”
Sejurus
percakapan itu, keduanya lalu duduk bersila di atas lantai. Dari dalam
tas, sang perempuan kemudian merogoh sebuah buku. Ya, buku yang
dijanjikan, kumpulan puisi Sony Farid Maulana bertajuk, “Menjemput
Hujan”.
“Mulai kita? Sudah siap?” kata si perempuan. Rudini
kemudian mengangguk semangat, ia lantas pasang kuping kuat-kuat. Pada
sore hari yang mendung itu, sang perempuan membacakan tuntas buku puisi
itu. Dan Rudini pun larut dalam lembaran bait puisi.
Siapa
sebenarnya perempuan yang baik hati itu, yang mau merelakan sorenya
disita Rudini? Ia adalah Eka Nurhamidah, seorang perempuan berusia 37
tahun yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga administrasi di SD
Muhamadiyah III Bandung. Kedatangannya meluangkan waktu ke Wyata Guna
adalah untuk memuaskan hati para penghuni panti, membacakan semua teks
bacaan yang tidak dicetak dalam huruf Braille.
Eka adalah seorang “reader”, yang membantu para tunanetra tanpa imbalan.
“Keinginan
belajar mereka [para penyandang cacat tunanetra] itu tinggi, namun
masih banyak buku yang belum dicetak dalam huruf Braille, jadi kami di
sini hanya membantu berbagi pengetahuan dengan mereka,” kata Eka dengan
nada yang sangat rendah hati. Padahal berkat orang-orang semacam dia,
banyak para penyandang tunanetra mampu mencerna dan memahami buku,
berita teranyar, ujian sekolah atau surat-surat dari orang tua penghuni
panti.
“Buku itu jendela ilmu. Jadi banyak hal yang ingin
mereka ketahui. Siapa lagi kalau bukan kita, yang bisa membantu mereka
mewujudkan semua impian itu,” ungkap Eka yang sudah aktif di Wyata Guna
sejak 1994.
Lamat-lamat dari ruangan lain terdengar suara
perempuan yang juga sedang membaca dengan vokal sedikit lantang. Namun
kali ini bukan soal puisi. Saat dilongok benar saja, Suci Apriyani (20),
mahasiswi Semester III Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan
Bandung, membacakan buku pelajaran milik Dede Hendra (17) murid kelas 3
SMP SLB bagian A, yang duduk di sebelahnya. Mereka kemudian mesra
belajar bersama.
Eka dan Suci hanya dua dari banyak sukarelawan
yang mau meluangkan waktu membantu para tunanetra. Walau tidak ada
catatan resmi, kegiatan reader sudah ada sejak Wyata Guna berdiri. Bagi para tunanetra, reader memang bukan matahari, mereka hanya lilin kecil. Namun lilin yang menuntun ke arah yang terang, yakni pengetahuan.
Budiman,
mantan penghuni panti yang mengalami cacat netra kategori penglihatan
rendah (low vision), mengakui peran dan bantuan para reader.
Mereka, katanya, membantu dirinya hingga bisa menyelesaikan studi di
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, dengan jurusan
Pendidikan Luar Biasa. Bagi, Budiman, para reader adalah mata yang membukakan jendela kegelapan pengetahuan. Para reader adalah pahlawan pembawa terang.
sumber : http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/pahlawan-para-pembawa-terang.html